|
Fitria Mumtazah |
I. Pembagian
Kaidah Fiqh
Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa
segi :
1. Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral,
karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini
dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat
dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
kaidah
ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti
sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan
seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah
kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak
dihadapkan dengan furu’
2. Segi
mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang
mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah
sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah
dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai
pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan
oleh ulama.
3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan
menjadi beberapa macam, yaitu :
· Kaidah
kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh
kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan
maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena
pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari
kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
· Kaidah
asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui
oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
hukum”
· Kaidah
fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum
sunni adalah ” majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad
XIX M, oleh lajnah fuqaha usmaniah.
II. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
Dengan kaidah-kidah fiqh
kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui
pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh
Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih
mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan
materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang
berbeda
Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori
fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan
sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak
langsung
|
nazhreel sedang mengajar ngaji |
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
Mempermudah dalam menguasai materi hokum
kaidah membantu menjaga dan menguasai
persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan
analogi (ilhaq)dan takhrij untuk memahami
permasalahan-permasalahnan baru.
mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti
(memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang
berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan
menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling
berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian
karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam
III. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut
:
Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi
peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at,
karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan
esensial dalam satu persoalan
Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh
mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu,
kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam
menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian
hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya
bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai
macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang
dasar telh sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip
umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu
cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka
perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi
sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan
berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu
Abbas Salammenyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan
untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana
menyikapi kedua hal tersebut.
Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang
fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena
jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan
dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah
tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
IV. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh
digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok,
yaitu al-Qur’an dansunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai
dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat”
tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh
digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil
pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh
sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat
bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al_Hawani menolak
pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni.Menurutnya,
menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak
dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat,
atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai
pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak
mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak
dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih
bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah
simpul sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu
banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat
sebagai berikut :“kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang
bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”
Dalam kontek studi
fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua hal :
pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas
dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat
patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di dalamnya
terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah
darifuru’ yang jumlahnya tidak terbatas.
V. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah
Pada
umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian
kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu
asasiah.Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam
Mazhahibtanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada
5 macam, yaitu :
Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
Kemudaratan itu harus dihilangkan
Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah
“tiada pahala kecuali dengan niat.” Sedangkan kaidah ghairu
asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari kaidah asasiah,
walaupun keabsahannya masih tetap diakui.
VI. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang
praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang
kembali kepada satu hukum yang sama.
Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang).
Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang
terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan
dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan
masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
VII. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
1. Meraih
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam
kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa
seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau
dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan,
adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh
syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
2. Al-Qawaid
al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
a. Kaidah
asasi pertama
“segala
perkara tergantung kepada niatnya”
Niat
sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan
melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena
Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
b. Kaidah asasi
kedua
“keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan adanya
keraguan”
c. Kaidah
asasi ketiga
“kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna
dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan
kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya,
sehingga mukallafmampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
d. Kaidah asasi
keempat
“kemudhoratan harus dihilangkan”
Kaidah
tersebut kembali kepada tujuan merealisasikanmaqasid al-Syari’ah dengan
menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau
setidak-tidaknya meringankannya.
e. Kaidah
asasi kelima
“adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan)
hukum”
Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal
yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang
dikenal sebagai sesuatu yang baik.
VII. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah
Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan
sebagiannya saja, yaitu :
“ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh
ijtihat yang baru”
Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab :
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan
ini adalah yang kami putuskan sekarang”
“apa yang haram diambil haram pula diberikannya”
Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang
hasil korupsi atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan
tolong menolong dalam dosa.
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan
ditinggalkan seluruhnya”
“Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi
mempunyai kekuatan sebagai dalil”
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit
diketahui oleh umum, akan tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi.
Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini
setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia bisa
membuktikan bahwa barang tersebut bukan hasil curian.
“Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum
waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka
pada saat kita puasa sebelum maghrib tiba.
VIII. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak
kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan
lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh tertentu,
yaitu :
Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah
secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu”
Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal
al-Syakhshiyah
Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi :
pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan
keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu
“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada
asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang
menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau
transaksi
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah
dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja
sama. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan
kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas
tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku
kejahatan dan perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :
“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain
tanpa dibenarkan syari’ah”
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh
syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika
dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat
dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib
mengeluarkan zakat.
Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya
bergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus
beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya
atau keluarganya maupun golongannya.
Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan
hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat,
baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari
daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah
fiqh dalam bidang ini yaitu :
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh
kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik
dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal.